Idealnya, orangtua melaporkan kasus kejahatan yang dialami anak pada penegak hukum. Hal ini tidaklah mudah. Sebetulnya, kasus eksploitasi atau kejahatan pada anak bukanlah delik aduan. Artinya tanpa ada yang melapor ke kantor polisi tapi kejahatan ini didengar/diketahui penegak hukum, maka polisi harus turun tangan tanpa menunggu adanya laporan. Karena anak sudah menjadi korban kejahatan.

Jika anak membuka diri/ orangtua melaporkan sehingga diketahui publik, maka terbuka celah bagi anak menjadi korban kembali, semisal adanya stigma dan proses hukum yang panjang dan tak pasti. Hal ini mendatangkan proses psikologis yang luar biasa, mengganggu dan terkorbankan kesejahteraan dan ketenteraman si anak, serta mengganggu aktivitas belajarnya. Bila setelah menjalani proses hukum dan korban mendapatkan keadilan atas putusan hukum, maka masih perlu ditindaklanjuti lagi. Karena kerap kali anak dalam kesehariannya menganggap dirinya sebagai korban.
Inilah yang harus diatasi dengan intervensi moral eksistensial. Maksudnya, keberadaan diri anak harus dipulihkan dengan tidak lagi menganggap dirinya “Aku mantan korban,” tetapi “Aku anak.” Anak diberikan “kacamata” baru untuk dia bisa menyikapi situasi, membangun de nisi-de nisi baru tentang hidup dan kehidupan. Pemulihan anak ini sangat bergantung pada dukungan sosial di sekitarnya, apakah itu orangtua, keluarga, teman, sekolah, media, dan lingkungan sekitarnya.
Dukungan Yang Lebih Matang
Bicara soal pemulihan pada korban anak bukan masalah berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga anak kembali “sembuh” seperti semula. Tetapi dibutuhkan dukungan sosial yang lebih matang dan mempunyai wawasan, serta stamina dalam memberikan dukungan sosial tersebut secara terus menerus pada diri anak. Sering kali itikad baik yang diwakili dengan perkataan misalnya, ”Lupakan dan nanti akan dapat terobati seiring waktu,“ itu suatu hal yang nonsense.
Karena proses pemaksaan diri untuk melupakan kejadian juga akan berpotensi memunculkan gangguan psikologis lainnya. Hal ini pun akan semakin mencederai psikologis anak. Realistisnya, bukan mengajarinya to forget tetapi to forgive dengan dirinya mempunyai “kacamata” baru dan ketangguhan diri tentang dunia kehidupan. Hal ini sangat mengandalkan dukungan sosialnya.
Simak juga portal gaya hidup modern agar semua kegiatan anak bisa diketahui dan dikontrol oleh orangtua. Sehingga tidak menjadi salah pergaulan di lingkungan luar rumah yang bisa mengakibatkan anak menjadi korban kejahatan.